SELAMAT DATANG DI BLOG ANJAR SETIO PURNOMO, S.Pd.

Sabtu, 23 Juni 2012

Pembelajaran Bebrbasis Budaya

Pembelajaran Bebrbasis Budaya
Pembelajaran berbasis budaya yang berlandaskan pada konstruktivisme biasanya dirancang untuk berfokus pada materi yang bersifat makro dan umum bukan bagian kecil-kecil atau spesifik. Dengan merancang pembelajaran yang berfokus pada topik atau materi secara makro, maka Anda akan dapat melihat secara holistik tentang topik tersebut, tidak secara parsial atau terkotak-kotak (fragmented).
Dengan berfokus pada topik atau konsep yang bersifat umum dan makro, maka guru sesungguhnya tidak akan merasa dikejar-kejar beban pemenuhan kurikulum, karena guru telah memberikan gambaran secara umum. Untuk setiap potongan kecil, siswa dapat belajar secara mandiri dari buku teks, atau sumber informasi lain, tetapi berlandaskan pada pengetahuan yang utuh dan menyeluruh tentang topik tersebut.
Dalam pembelajaran berbasis budaya, kurikulum dirancang agar:
memungkinkan siswa untuk belajar dengan tenang, dan guru untuk memandu proses pembelajaran tanpa dikejar-kejar target pokok bahasan, namun tetap tidak menyimpang dari pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai siswa berdasarkan kurikulum;
dapat menggambarkan keterkaitan antarkonsep dalam suatu bidang ilmu, dengan bidang lain dan juga budaya komunitas siswa, dan menggambarkan posisi suatu bidang ilmu dalam hubungannya dengan beragam bidang ilmu; dan
membantu siswa untuk dapat menunjukkan atau mengekspresikan keterkaitan bidang ilmu yang dipelajarinya dengan budaya komunitasnya, dan dengan bidang ilmu lainnya
Pembelajaran Berbasis Budaya merupakan salah satu cara yang dipersepsikan dapat:
menjadikan pembelajaran bermakna dan kontekstual yang sangat terkait dengan komunitas budaya di mana suatu bidang ilmu dipelajari dan akan diterapkan nantinya, dan dengan komunitas budaya dari mana Anda berasal;
menjadikan pembelajaran menarik dan menyenangkan. Kondisi belajar yang memungkinkan terjadinya penciptaan makna secara kontekstual berdasarkan pada pengalaman awal Anda sebagai seorang anggota suatu masyarakat budaya merupakan salah satu prinsip dasar dari teori Konstruktivisme.
Teori Konstruktivisme dalam pendidikan terutama berkembang dari hasil pemikiran Vygotsky (Social and Emancipatory Constructivism), yang menyimpulkan bahwa siswa mengkonstruksikan pengetahuan atau menciptakan makna sebagai hasil dari pemikiran dan berinteraksi dalam suatu konteks sosial. Konstruktivisme merupakan teori tentang belajar, teori tentang penciptaan makna. Konstruktivisme, juga dikembangkan oleh Piaget (Piagetian Psychological Constructivism), yang menyatakan bahwa setiap individu menciptakan makna dan pengertian baru, berdasarkan interaksi antara apa yang telah dimiliki, diketahui, dan dipercayai, dengan fenomena, ide, atau informasi baru yang dipelajari. Piaget (O’Loughlin, 1993 dalam Richardson, 1997) menyatakan bahwa setiap siswa membawa pengertian dan pengetahuan awal yang sudah dimilikinya ke dalam setiap proses belajar, yang harus ditambahkan, dimodifikasi, diperbaharui, direvisi, dan diubah oleh informasi baru yang dijumpai dalam proses belajar.
Dalam teorinya, Vygotsky menyatakan bahwa proses belajar tidak dapat dipisahkan dari aksi (aktivitas) dan interaksi, karena persepsi dan aktivitas berjalan seiring secara dialogis. Belajar merupakan proses penciptaan makna sebagai hasil dari pemikiran individu dan melalui interaksi dalam suatu konteks sosial. Dalam hal ini, tidak ada perwujudan dari suatu kenyataan yang dapat dianggap lebih baik atau benar. Vygotsky percaya bahwa beragam perwujudan dari kenyataan digunakan untuk beragam tujuan dalam konteks yang berbeda-beda. Pengetahuan tidak terpisahkan dari aktivitas di mana pengetahuan itu dikonstruksikan, dan di mana makna diciptakan, serta dari komunitas budaya di mana pengetahuan didiseminasikan dan diterapkan. Melalui aktivitas, interaksi sosial, tersebut penciptaan makna terjadi.
Didukung oleh kematangan dan perkembangan otak siswa (brain growth and maturation), pembelajaran menjadi suatu interaksi sosial sebagai proses penciptaan makna. Dalam interaksi sosial, terjadi proses pembimbingan dan negosiasi makna (scaffolding) oleh siswa lain, guru, atau tokoh (knowlegable or more experienced others) dalam suatu wilayah pengembangan siswa (zone of proximal development). Hasil dari interaksi sosial tersebut adalah siswa menjadi lebih mandiri, dan terjadinya transformasi pengetahuan siswa di mana pengetahuan yang dipersepsikan sebagai sesuatu yang dinamis, diciptakan, dikaji dan dianalisis, diinternalisasikan serta ditransformasikan bersama oleh siswa dan guru, bukan sekedar disampaikan (transferred or transmitted) oleh guru. Budaya, menurut Vygotsky, “… influences the development of cognitive forms during the transformation of knowledge by providing regulative information that falls within the zone of proximal development”.
Penciptaan makna dapat terjadi pada dua jenjang, yaitu pemahaman mendalam (inert understanding) dan pemahaman terpadu (integrated understanding). Pemahaman mendalam merupakan hasil belajar siswa berdasarkan informasi yang diterimanya melalui proses belajar, dan disimpan di dalam ingatannya. Penemuan kembali terhadap pemahaman yang sudah tersimpan adalah relatif minimal, mungkin ditemukan kembali untuk kebutuhan ujian atau tes, tetapi sangat kecil kemungkinannya untuk ditemukan kembali untuk diaplikasikan dalam situasi yang baru/lain.
Sementara itu, pemahaman terpadu merupakan penciptaan makna yang menunjukkan kemampuan siswa untuk menciptakan hubungan bermakna antara beragam ide dan konsep dalam bidang ilmu, dan antara pengalaman dan konteks pribadi dengan konsep dan prinsip ilmiah dalam bidang ilmu. Pemahaman terpadu merupakan pengetahuan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah dalam berbagai konteks dan situasi. Pemahaman terpadu membuat siswa mampu untuk bertindak secara mandiri berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya dalam konteks komunitas budaya, dan mendorong siswa untuk kreatif terus mencari dan menemukan gagasan berdasarkan konsep dan prinsip ilmiah.
Kerangka pemikiran konstruktivisme sangat menantang guru dan perancang pembelajaran untuk mampu menciptakan, mengkreasikan lingkungan belajar yang memungkinkan guru dan siswa berpartisipasi aktif dalam proses berpikir, mencari, menemukan, dan menciptakan makna berdasarkan pengalaman dan pengetahuan awal yang dimiliki guru maupun siswa dalam suatu komunitas budaya, sehingga dapat dicapai pemahaman terpadu. Dalam partisipasi aktif tersebut diasumsikan bahwa guru dan siswa dapat memiliki rasa saling menghormati dan menghargai, bahwa setiap individu dapat belajar, menciptakan makna, dan berkreasi, setiap individu memiliki pengalaman dan pengetahuan awal yang berbeda-beda berdasarkan konteks komunitas budayanya masing-masing. Brooks & Brooks (1993) menyatakan bahwa pembelajaran konstruktivis bercirikan:
tidak terpaku pada proses mempelajari materi sebagaimana tercantum dalam kurikulum, tetapi memungkinkan proses pembelajaran berfokus pada ide atau gagasan yang bersifat umum/makro (big concept/ idea/picture) berdasarkan konteks kehidupan siswa;
proses belajar merupakan milik siswa, sehingga siswa sangat diberi keleluasaan untuk menuruti minat dan rasa ingin tahunya, untuk membuat keterkaitan antarkonsep/ide, untuk mereformulasikan idea dan gagasan, serta untuk mencapai suatu kesimpulan yang unik, dan
mempercayai adanya beragam perspektif yang berbeda-beda, dan kebenaran merupakan suatu hasil interpretasi makna (meaning making)
Brooks & Brooks percaya bahwa dengan guru mengintegrasikan ketiga hal tersebut dalam pembelajaran berbasis budaya, maka guru mampu menciptakan pembelajaran berbasis budaya yang konstruktivis, yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk menciptakan makna dan mencapai pemahaman terpadu atas informasi keilmuan yang diperolehnya, serta penerapan informasi keilmuan tersebut untuk konteks permasalahan dalam komunitas budayanya.
PERAN GURU
Pembelajaran berbasis budaya yang berlandaskan pada konstruktivisme berfokus pada penciptaan suasana belajar yang dinamis, yang mengakui keberadaan siswa dengan segala latar belakang, pengalaman, dan pengetahuan awalnya, yang memberi kesempatan kepada siswa untuk bebas bertanya, berbuat salah, bereksplorasi, dan membuat kesimpulan tentang beragam hal dalam kehidupan. Dalam hal ini, peran guru menjadi berubah, bukan sebagai satu-satunya pemberi informasi yang mendominasi kegiatan pembelajaran, tetapi menjadi perancang dan pemandu proses pembelajaran sebagai proses penciptaan makna oleh siswa, oleh siswa dan juga guru secara bersama. Guru juga diharapkan, bukan hanya berbicara kepada siswa, tetapi juga mendengarkan dan menghargai pendapat siswa.
Satu hal yang harus dihindari guru dalam pembelajaran berbasis budaya adalah menyatakan “salah” terhadap pendapat siswa. Perlu diingat, pembelajaran berbasis budaya percaya bahwa setiap pendapat adalah unik, dan penciptaan makna terjadi secara individual, sehingga tidak ada yang salah atau benar dalam hal ini. Pernyataan “salah” akan menyakitkan hati siswa, dan siswa merasa pendapatnya tidak dihargai, sehingga siswa cenderung pasif dan tidak mau mengambil risiko. Jika pendapat siswa berbeda, yang perlu dilakukan guru adalah bernegosiasi melalui interaksi dengan Siswa, sampai Siswa mencapai kesimpulan apakah pendapatnya sesuai dengan kaidah keilmuan yang dipelajarinya atau tidak.
Dalam pembelajaran berbasis budaya, guru berfokus untuk:
dapat menjadi pemandu siswa, negosiator makna yang handal, dan pembimbing siswa dalam eksplorasi, analisis, dan pengambilan kesimpulan
menahan diri agar tidak menjadi otoriter, atau menjadi satu-satunya sumber informasi bagi siswa
dapat merancang proses pembelajaran yang aktif, kreatif, dan menarik, sehingga guru tidak hanya berceramah dan siswa hanya mendengarkan
merancang strategi secara kreatif agar dapat mengetahui beragam kemampuan dan keterampilan yang dicapai siswa per siswa dalam proses belajar
PERAN SISWA
Ide dan pendapat siswa adalah jendela dari pola pikir mereka. Dalam pembelajaran berbasis budaya, siswa bukan pasif hanya menerima pengetahuan dan keterampilan yang disampaikan guru, tetapi merupakan subjek yang menciptakan makna, dan bahkan kontributor terhadap perkembangan pengetahuan dan keterampilan dalam bidang ilmu. Ide dan pendapat siswa adalah hasil penciptaan makna yang mereka lakukan dalam proses pembelajaran.
Dengan demikian, siswa dalam pembelajaran berbasis budaya diakui dan dihargai sebagai individu dengan latar belakang, pengalaman, dan pengetahuan awal yang unik, yang memiliki kemampuan dan keinginan untuk belajar, dan untuk menjadi kreatif berdasarkan kaidah ilmiah dalam konteks komunitas budayanya. Gallas (dalam Goldberg, 2000) menyatakan bahwa siswa “… show the power and range of their intellectual and creative pursuits are unbounded, when they are continuously offered opportunities to express their stories about the world through many avenues….” Adalah tantangan bagi guru untuk mampu merancang pembelajaran yang memungkinkan siswa menampilkan semua kreativitas dan kemampuannya secara optimal.
Pembelajaran berbasis budaya menempatkan siswa pada posisi strategis dalam proses pembelajaran, dan guru sebagai perancang dan pelaksana pembelajaran yang handal dan kreatif. Dalam pembelajaran berbasis budaya, “… by engaging in cultural activities, teachers and students open the door to creativity, curiosity, risk taking, discovery, and their dreams….” (Goldberg, 2002). Pembelajaran berbasis budaya yang berlandaskan pada konstruktivisme diharapkan dapat memulai proses perubahan dalam budaya pembelajaran, untuk making a difference terhadap proses pembelajaran pada umumnya, dan hasil belajar pada khususnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar