SELAMAT DATANG DI BLOG ANJAR SETIO PURNOMO, S.Pd.

Jumat, 08 Juni 2012

Hubungan Gempa dan Gerhana Bulan

Hubungan Gempa Bumi dan Gerhana Bulan – Beberapa waktu lalu terjadi gempa berkekuatan 6,1 Skala Richter yang mengguncang laut pada kedalaman 24 kilometer arah barat daya tepatnya di Kabupaten Sukabumi, Senin (4/6/2012) pukul 18.24 WIB. Kemungkinan fenomena alam tersebut dipengaruhi gerhana bulan yang terjadi bersamaan.
Peneliti Astronomi dari Observatorium Bosscha, yaitu Dani Herdiwijaya, mengatakan berdasarkan data statistik, sejumlah gempa yang pernah terjadi memang pernah terjadi dalam waktu bersamaan atau berdekatan dengan  gerhana bulan dan matahari, sebagaimana gempa yang yang terjadi di Aceh beberapa tahun lalu.
“Gerhana adalah saat bulan, bumi, dan matahari, dalam keadaan sejajar. Kemungkinan ada gaya gravitasi yang menimbulkan pergerakan tanah. Tapi, memang tidak sebesar pengaruh yang ditimbulkan gesekan di tanahnya,” kata Dani.
gempa dan gerhana bulan
Gempa di sukabumi memang terjadi hampir bersamaan dengan puncak gerhana bulan. Saat gerhana, bulan memasuki penumbra atau gerhana bulan penumbra pada jam 15.46. Kemudian bulan memasuki umbra atau momen gerhana bulan sebagian mulai pukul 16.59. Gerhana bulan mencapai puncaknya tepat pada pukul 18.00 dan berakhir jam 19.07. Selanjutnya, gerhana bulan penumbra berakhir pada jam 20.20.
Hubungan Gempa dan Gerhana Bulan
Amat menarik perhatian bahwa tatkala Gempa Sukabumi 4 Juni 2012 ini meletup, langit Indonesia sedang mengalami Gerhana Bulan Sebagian dan baru saja mencapai puncaknya dengan Bulan berada di atas ufuk timur. Apakah ada hubungan antara keduanya?
Dalam perspektif ilmu perbintangan, Bumi beredar mengelilingi Matahari tidak hanya akibat pengaruh gravitasi Matahari semata, namun juga dipengaruhi planet-planet lainnya dalam tata surya kita terutama gang of four : Jupiter, Saturnus, Uranus dan Neptunus. Jadi, selagi Bumi dipaksa mengelilingi Matahari, keempat planet tersebut juga mengenakan gravitasinya ke Bumi. Sehingga posisi Bumi dalam orbitnya relatif stabil tanpa berayun maju mundur maupun berlenggak-lenggok. Meski sahamnya jauh lebih kecil, Bumi juga dipengaruhi oleh gravitasi Bulan. Bulan mengenakan gravitasinya demikian rupa sehingga Bumi, yang sumbu rotasinya miring 23,5 derajat dari seharusnya, tetap stabil dalam mengelilingi Matahari tanpa harus terguling-guling.
Selain gaya gravitasi, interaksi antar benda-benda langit juga mewujud dalam gaya tidal, alias gaya pasang surut gravitasi. Secara sederhana, jika terdapat dua benda langit berada dalam satu garis lurus, maka masing-masing mengenakan gaya tidalnya kepada benda langit lainnya demikian rupa sehingga massa masing-masing benda langit seakan-akan lebih terpusat ke garis lurus tersebut. Fenomena ini amat jelas terlihat pada terjadinya proses pasang surut di Bumi. Meski Matahari jauh lebih massif dibanding Bulan, namun Bulan jauh lebih dekat ke Bumi sehingga gaya tidal Bulan mencapai 2 kali lipat lebih besar dibanding Matahari. Saat Bumi, Bulan dan Matahari berada dalam satu kelurusan, Bulan dan Matahari mengenakan gaya tidalnya demikian rupa sehingga Bumi merasakan resultan gaya tidal yang cukup kuat. Secara sederhana dapat dikatakan, pada saat Bulan berada di antara Bumi dan Matahari (yakni situasi konjungsi atau Bulan baru), resultan gaya tidal di Bumi mencapai 3 kali lipat di atas normal. Sehingga pada saat itu bakal terjadi pasang naik paling besar.
Perairan samudera di Bumi menderita gaya tidal paling kuat, karena sifatnya yang cair sehingga lentur dan mudah bergerak meski massanya sangat besar. Namun apakah hanya perairan saja yang menderita gaya tidal? Nampaknya tidak. Massa daratan di Bumi pun mengalami hal serupa, meski tingkat pasangnya lebih rendah karena berbentuk padat dan lebih kaku. Saat resultan gaya tidal mencapai maksimum, kerak Bumi dapat mengalami pasang naik hingga lebih dari 50 cm khususnya pada titik yang berhadapan langsung dengan Bulan.
Apakah pasang naik kerak bumi tersebut dapat menyebabkan sumber gempa potensial didalamnya terpatahkan sehingga meletup sebagai gempa tektonik? Ini masih diperdebatkan dan belum menemukan kesimpulan yang utuh. Sebuah gempa bumi tektonik sangat kompleks dan memiliki variabel yang berjibun jumlahnya. Secara umum sebuah gempa tektonik bisa meletup karena adanya dua faktor utama : sumber dan pemicu. Sumber amat menentukan kejadian gempa sehingga jika sumbernya dihilangkan maka gempa takkan terjadi. Dalam gempa tektonik, kita tahu sumbernya adalah bidang kontak antara dua lempeng yang bertunjaman, berhadapan maupun bergesekan. Sepanjang lempeng tektonik masih bergerak, sepanjang itu juga sumber gempanya masih ada. Sementara pemicu adalah faktor yang menyebabkan sumber gempa potensial melepaskan gempa tektoniknya lebih cepat. Jika faktor pemicu tidak ada, gempa akan tetap terjadi namun baru meletup dalam waktu yang lebih lambat dibanding jika ada pemicunya.
Beberapa ilmuan berasumsi Bulan, khususnya dalam kondisi konjungsi (Bulan baru) atau oposisi (purnama) merupakan salah satu faktor pemicu gempa tektonik. Tamrazyan (1968) melaporkan, berdasarkan energi gempa tektonik global dalam kurun waktyu 1903–1956 yang dibatasi pada magnitude lebih dari 7,9 dan dipilih hanya pada saat yang berdekatan dengan Bulan menempati titik perigee–nya (titik terdekat ke Bumi dalam orbit Bulan), terlihat 28,5 % energi gempa itu dilepaskan pada saat konjungsi sementara 54,7 % dilepaskan pada saat oposisi (Bulan purnama). Sedangkan sisanya (16,8 %) dilepaskan pada saat Bulan mencapai fase kuartir pertama atau kuartir ketiga. Dominannya pelepasan energi saat Bulan baru dan purnama, sementara geometri kedua kejadian terhadap posisi Matahari hakikatnya adalah sama mengindikasikan sebuah hubungan antara kejadian kegempaan dengan faktor langit, sebagai satu dari sekian banyak faktor pemicu gempa yang kompleks.
Cochran dkk (2004) juga memaparkan hal serupa sekaligus menggarisbawahi resultan gaya tidal yang diderita Bumi menyebabkan terjadinya pasang surut baik di badan air (samudera) maupun kerak bumi. Namun pasang surut samudera memberikan pembebanan lebih besar bagi sumber–sumber gempa potensial yakni mencapai hampir 0,05 MPa (0,5 bar) atau 10 kali lipat lebih besar dibanding oleh pasang surut kerak bumi sendiri. Lewat pembebanan akibat pasang surut samudera inilah sebuah gempa tektonik bersumber dangkal (gempa dangkal) bisa terpicu dengan probabilitas 99,99 % bila amplitudo tegangan tidal cukup tinggi (lebih besar dari 0,01 MPa). Studi lanjutan memperlihatkan gempa dangkal dengan tipe pematahan menurun (normal) di punggungan tengan samudera dari lempeng Juan de Fuca berkorelasi dengan gaya tidal. Demikian pula di Jepang, dimana korelasi kejadian kegempaan dan gaya tidal dijumpai bahkan untuk sub–kawasan dengan korelasi tertinggi terhadap gempa besar.
Peta beresolusi rendah dari Cochran dkk (2004) memperlihatkan ada banyak lokasi dalam Pacific Ring of Fire yang memiliki amplitudo puncak tegangan tidal lebih besar dari 0,01 MPa. Misalnya saja Amerika Selatan (Chile, Peru), Amerika Tengah (Meksiko), Pasifik utara (busur Kepulauan Aleut hingga semenanjung Kamchatka), Jepang utara, Filipina, Indonesia, Papua Nugini dan Selandia Baru. Khusus untuk Indonesia, sub–kawasan dengan amplitudo puncak tegangan tidal lebih besar dari 0,01 MPa terletak di Indonesia timur (Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua), sebagian Jawa (khususnya Jawa bagian barat) dan sebagian Sumatra (khususnya Sumatra bagian utara).
Dalam kasus Gempa Sukabumi 4 Juni 2012, gempa ini terjadi bersamaan waktunya dengan gerhana Bulan Sebagian, yang adalah oposisi istimewa (dimana Bulan, Bumi dan Matahari tak hanya berada dalam satu kelurusan, melainkan tepat segaris lurus/syzygy). Sehingga dalam dimensi waktu, ada keterkaitan antara keduanya, meski dari sisi ini keterkaitan itu bisa saja hanya kebetulan semata ataupun karena saling mempengaruhi. Sementara dari dimensi keruangan, kawasan zona tunjaman Jawa bagian barat memang memiliki korelasi lebih tinggi antara kegempaan regional dengan penjajaran posisi Bulan, Bumi dan Matahari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar