SELAMAT DATANG DI BLOG ANJAR SETIO PURNOMO, S.Pd.

Sabtu, 09 Juni 2012

Menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang Harus Dibayar dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah


Menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang Harus Dibayar dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Objek Pajak Pertambahan Nilai
Apabila ditinjau dari jenis penyerahan yang menjadi objek PPN, maka terdapat 6 (enam) jenis PPN. Dari keenam jenis PPN, 2 (dua) jenis di antaranya dibatasi dengan unsur untuk dapat mengenakan PPN, yaitu PPN Barang dan PPN Jasa.
Unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk dapat dikenakan PPN adalah:
  1. adanya penyerahan;
  2. yang diserahkan adalah Barang Kena Pajak (BKP);
  3. yang menyerahkan adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP);
  4. penyerahannya harus di Daerah Pabean, yaitu daerah Republik Indonesia;
  5. PKP yang menyerahkan harus dalam lingkungan perusahaan /pekerjaannya terhadap barang yang dihasilkan.
Penyerahan yang dikenakan PPN meliputi:
  1. penyerahan hak karena suatu perjanjian;
  2. pengalihan barang karena suatu perjanjian sewa-beli dan perjanjian leasing;
  3. penyerahan kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
  4. pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma;
  5. penyerahan likuidasi atas aktiva yang tujuan semula tidak untuk diperjuabelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran, sepanjang PPN sewaktu memperoleh aktiva dapat dikreditkan menurut perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan;
  6. penyerahan dari cabang ke cabang lainnya, atau dari pusat ke cabang atau sebaliknya;
  7. penyerahan secara konsinyasi.
Penyerahan yang dikecualikan dari pengenaan PPN adalah:
  1. penyerahan kepada Makelar;
  2. penyerahan untuk jaminan utang-piutang;
  3. penyerahan cabang ke cabang lainnya, atau dari pusat ke cabang atau sebaliknya yang telah mendapat izin pemusatan pembayaran pajak;
  4. penyerahan dalam rangka perubahan bentuk usaha, atau penggabungan usaha, atau pengalihan seluruh aktiva perusahaan yang diikuti dengan perubahan pihak yang berhak atas barang kena pajak.
Barang kena pajak dimungkinkan berbentuk:
  1. barang berwujud dan bergerak;
  2. barang berwujud dan tidak bergerak;
  3. barang tidak berwujud yang dimanfaatkan di Indonesia.
Barang yang dikecualikan dari pengenaan PPN adalah: barang hasil pertanian, barang hasil perkebunan; barang hasil kehutanan; barang hasil peternakan; barang hasil perburuan; barang hasil penangkaran; barang hasil perikanan; barang hasil budidaya; barang hasil pertambangan dan barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari.
Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha, baik berbentuk orang pribadi maupun badan termasuk BUT yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar negeri, melakukan usaha jasa atau memanfaatkan jasa dari luar negeri, yang melakukan penyerahan BKP, kecuali pengusaha kecil.
Daerah Pabean adalah daerah Republik Indonesia. PKP yang melakukan penyerahan tersebut harus dalam lingkungan perusahaan/pekerjaannya.
Subjek Pajak Pertambahan Nilai
Kalau dalam objek Pajak Pertambahan Nilai yang ditekankan adalah adanya penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, maka dalam subjek Pajak Pertambahan Nilai yang dibahas adalah siapa yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP.
Adapun yang menyerahkan adalah Pengusaha kena pajak (PKP) yang dapat berupa Orang Pribadi atau juga Badan. Pengertian badan dirumuskan dalam Pasal 1 angka 13 UU PPN 1984 sebagai berikut:
Badan merupakan sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan, melakukan atau tidak melakukan usaha.
Badan dapat terdiri dari
  1. PT, CV, Perseroan lainnya;
  2. BUMN/BUMD;
  3. Firma, Kongsi, Koperasi;
  4. Dana Pensiun;
  5. Persekutuan, Perkumpulan;
  6. Yayasan;
  7. Ormas, orsospol, organisasi lainnya;
  8. Lembaga;
  9. Bentuk Usaha lainnya;
  10. Bentuk Badan Lainnya.
Subjek Pajak Pertambahan Nilai, adalah
Pengusaha Kena Pajak
  1. Pengusaha yang melakukan atau sejak semula bermaksud melakukan penyerahan BKP/JKP.
  2. Bentuk Kerja sama Operasi.
Bukan Pengusaha Kena Pajak
  1. Orang Pribadi/Badan yang mengimpor Barang Kena Pajak (BKP).
  2. Orang pribadi yang memanfaatkan BKP Tidak Berwujud/Jasa Kena pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean.
  3. Orang Pribadi/Badan yang membangun sendiri di luar kegiatan usaha/pekerjaannya.
  4. Jasa di bidang perhotelan.
Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
Untuk menghitung besarnya PPN terutang, harus dipahami terlebih dahulu tentang Dasar Perhitungan PPN (DPP), saat terutangnya PPN dan tarif PPN.
Dasar perhitungan PPN adalah sebagai berikut:
  1. untuk PPN Barang adalah harga jual;
  2. untuk PPN Jasa adalah penggantian;
  3. untuk PPN Impor adalah Nilai Impor;
  4. untuk PPN atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar negeri adalah jumlah yang dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan BKPTB atau JKP;
  5. untuk PPN atas pemakaian sendiri, pemberian cuma-cuma, penyerahan media rekaman suara/gambar, penyerahan film, persediaan BKP tersisa (likuidasi), aktiva yang tujuan semula tidak untuk dijual dan Jasa Pengiriman Paket, adalah Nilai Lain;
  6. untuk PPN Ekspor adalah Nilai Ekspor.
Pengertian harga jual pun dipengaruhi oleh perjanjian penyerahan BKP, apakah loco gudang atau franco gudang. Pengertian Harga Jual dan Penggantian tidak termasuk PPN, potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak dan barang retur.
Pengertian DPP dengan nilai lain, adalah:
  1. untuk pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma adalah harga jual/penggantian tidak termasuk laba kotor;
  2. untuk penyerahan media rekaman suara/gambar adalah perkiraan harga jual rata-rata;
  3. untuk persediaan tersisa (likuidasi) dan aktiva yang tujuan semula tidak untuk dijual adalah harga pasar wajar;
  4. untuk jasa pengiriman paket adalah 1% (satu persen) dari Tagihan atau seharusnya dibayar.
Saat dan Tempat Pajak Terutang
Untuk menghitung PPN harus dipahami pengertian Dasar Perhitungan, saat terutangnya dan tarif PPN. Tentang pengertian dari Dasar Perhitungan telah diuraikan pada Kegiatan Belajar 1, sedangkan pada Kegiatan Belajar 2 ini diuraikan tentang saat terutang pajak dan tempat pajak terutang.
Uraian tentang saat terutangnya PPN meliputi PPN atas penyerahan BKP berbentuk barang berwujud dan bergerak, PPN atas penyerahan BKP berbentuk barang berwujud tidak bergerak, PPN JKP, PPN atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar negeri, PPN atas pemanfaatan JKP dari luar negeri, PPN Impor, PPN Ekspor dan PPN Bendaharawan termasuk badan-badan tertentu yang ditunjuk.
Ketentuan tempat pajak terutang juga dibahas, dengan memberi contoh PKP yang memiliki cabang-cabang.
Tarif dan Menghitung PPN
Setelah memahami dasar perhitungan PPN (DPP), saat terutangnya PPN dan tarif PPN, maka dengan mudah dapat menghitung PPN terutang secara benar dan cepat.
Tarif PPN menerapkan tarif yang proporsional dan tunggal, sebagai sarana dalam rangka memudahkan melakukan kredit pajak. Di samping itu juga diuraikan tentang tarif efektif termasuk asal-usul tarif efektif.
Dalam menghitung PPN terutang diberikan beberapa contoh menghitung, termasuk menghitung PPN dengan dasar perhitungan nilai lain, seperti PPN atas pemberian cuma-cuma, PPN pemakaian sendiri, PPN atas penyerahan kaset rekaman lagu dan gambar, PPN atas pemanfaatan BKP tidak berwujud, PPN atas pemanfaatan JKP dari luar negeri, dan PPN jasa pengiriman Paket. Tidak ketinggalan adalah PPN Bendaharawan, baik saat terutangnya pajak maupun pembayaran
Menghitung PPN Pajak Masukan
Sasaran Pajak Pertambahan Nilai bukan harga jual atau penggantian, atau nilai impor, atau nilai ekspor, melainkan nilai tambah atas penyerahan BKP, atau pemberian JKP dan seterusnya. Tetapi untuk mencari nilai tambah tidak semudah diduga, bahkan sulit, karena antara barang yang dibeli tidak harus sama dengan barang yang dijual dan faktor lainnya. Untuk memudahkan dalam perhitungannya maka yang ditunjuk sebagai dasar pengenaan adalah harga jual untuk PPN Barang, penggantian untuk PPN Jasa, Nilai Impor untuk impor barang dan sebagainya. Tetapi pelaksanaannya menimbulkan pajak berganda.
Untuk menghindari pemungutan pajak berganda dapat dilakukan beberapa cara, yaitu:
  1. menerapkan kredit PPN atas bahan baku atau bahan pembantu termasuk faktor produksi lainnya;
  2. mencari nilai tambah pada setiap produksi;
  3. menerapkan tarif yang berbeda-beda dengan memperhatikan tingkat tahapan produksi seperti barang jadi, barang setengah jadi dan barang esensial;
  4. menentukan dasar pengenaan dengan memperhatikan pertambahan nilainya;
  5. menerapkan pemungutan sekali.
Baik pada UU No. 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM maupun UU No. 18 Tahun 2000 yang menggantikannya sama-sama menerapkan kredit PPS atas bahan baku, bahan pembantu dan faktor produksi lainnya, dengan menerapkan tarif Pajak yang proporsional dan tunggal.
Pajak yang dikreditkan disebut dengan Pajak Masukan, sedangkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang disebut dengan Pajak Keluaran.
Agar sistem kredit pajak Pajak Masukan ini tidak disalahgunakan maka diberi batasan tentang Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan, dengan beberapa contoh.

Mengkredit Pajak Masukan
Yang melatarbelakangi sistem kredit pajak adalah upaya untuk menghindari pengenaan pajak berganda, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai bahwa sasaran pengenaannya adalah pertambahan nilai. Sedangkan untuk menghitung besarnya pertambahan nilai untuk setiap unit produksi adalah sulit sekali. Oleh karena itu, untuk memudahkan (menyederhanakan) cara perhitungan pajaknya maka ditetapkan harga jual sebagai dasar pengenaan, dengan ketentuan bahwa PPN yang terutang dan telah dibayar sewaktu membeli Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikreditkan dari PPN yang akan dibayar sewaktu melakukan penjualan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.
Meskipun demikian, agar tercegah adanya pengkreditan pajak yang tidak semestinya, maka tidak setiap pajak masukan dapat dikreditkan, melainkan terbatas yang telah memenuhi persyaratan.
Melalui sistem pengkreditan pajak masukan tersebut, akan menghasilkan 3 (tiga) alternatif:
  1. masih harus membayar PPN, dalam hal pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan;
  2. terjadi kelebihan pembayaran pajak, dalam hal Pajak Keluaran lebih kecil daripada Pajak Masukan;
  3. tidak kurang bayar dan tidak terjadi kelebihan pembayaran PPN, dalam Pajak Keluaran sama dengan Pajak Masukan.

Pengkreditan Pajak Masukan oleh PKP atas Penyerahan sebagai BKP dan PKP Norma Penghitungan
Tidak setiap Pajak Masukan dapat dikreditkan dari pembelian BKP atau JKP. Sedangkan Pajak Masukan tertuang dalam satu Faktur Pajak Masukan, baik atas pembelian BKP atau bukan BKP. Demikian pula Pajak Masukan karena penggunaan Barang Modal, yang boleh dikreditkan terbatas pada Pajak Masukan atas Barang Modal yang digunakan untuk kegiatan usaha yang menghasilkan BKP. Oleh karena itu, setiap pengkreditan Pajak Masukan terselip Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.
Untuk itu disusun dan ditetapkan rumus dalam menghitung Pajak Masukan yang harus dibayar kembali.
Rumus menghitung Pajak Masukan yang harus dikembalikan dibedakan antara rumus untuk Barang Modal dan Bukan Barang Modal, disamping rumus menghitung Pajak Masukan yang harus dikembalikan berkenaan penggunaan Barang Modal bukan untuk menghasilkan BKP.
Pajak Masukan bagi PKP yang Menggunakan Norma Penghitungan
Pemungutan pajak dapat dikatakan adil, baik pada tingkat horisontal maupun vertikal, yang besarnya pajak terutang sesuai dengan objek yang diterima atau diperoleh wajib pajak. Untuk mendapat pemungutan pajak yang adil tersebut diperlukan data yang akurat. Salah satu sumber data sekaligus sebagai pencerminan tingkat partisipasi wajib pajak adalah angka-angka dalam pembukuan.
Melalui Pasal 28 ayat (1) UU No. 9 Tahun 1994, UU mewajibkan kepada setiap wajib pajak untuk menyelenggarakan pembukuan, yang isinya dapat menggambarkan perusahaan, modal perusahaan, utang perusahaan dan seterusnya, yang dapat mendukung dalam menghitung pajak terutang, baik Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dan lain-lain jenis pajak.
Pembukuan harus disusun di Indonesia, dalam bahasa Indonesia, huruf latin, dan angka arab, serta menerapkan prinsip taat asas, baik Tahun pembukuan, metode penyusutan, maupun metode penilaian persediaan dan sebagainya.
Yang dikecualikan dari kewajiban pembukuan tersebut adalah:
  1. wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang oleh UU diperkenankan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan;
  2. wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
  3. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya seTahun kurang dari Rp600.000.000,00 dan wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dikecualikan dari penyelenggaraan pembukuan. Oleh karena itu, untuk menghitung penghasilan netonya diperkenankan dengan menggunakan Norma Penghitungan.
  4. Wajib pajak orang pribadi yang diperkenankan menggunakan norma penghitungan dalam menghitung penghasilan neto sebagaimana disebut pada Pasal 14 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2000, dalam menghitung Pajak Masukan yang dapat dikreditkan diperkenankan menggunakan Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana ditentukan pada Pasal 9 ayat (7) UU No. 18 Tahun 2000.
Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah sebagai berikut:
  1. untuk penyerahan BKP adalah sebesar 70% (tujuh puluh persen) dari jumlah Pajak Keluaran;
  2. untuk penyerahan JKP adalah sebesar 40% (empat puluh persen) dari jumlah Pajak Keluaran.
Untuk keperluan pelaksanaan ketentuan tersebut PKP wajib membuat catatan nilai peredaran bruto yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak. Dalam hal PKP disamping melakukan penyerahan BKP juga bukan BKP, catatan dimaksud agar dipisah antara penyerahan yang terutang pajak dengan penyerahan yang tidak terutang pajak pertambahan nilai. Dalam hal terjadi perubahan, sejak masa pajak pada permulaan Tahun buku berikutnya PKP tidak lagi diperkenankan menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan. Ketentuan ini tidak berlaku bagi PKP pedagang eceran dengan nilai sebagai dasar pengenaan pajak.
Administrasi Penggunaan Norma Penghitungan
Tidak semua wajib pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan dapat menggunakan Norma Penghitungan dalam menghitung Penghasilan Neto, melainkan terbatas pada wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, dan peredaran brutonya seTahun kurang dari Rp600.000.000,00. Selain itu, wajib pajak yang bersangkutan wajib memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak, dalam hal ini adalah Kepala Kantor Pelayanan Pajak dalam waktu 3 (tiga) bulan pertama dari Tahun pajak yang bersangkutan. Meskipun demikian, wajib pajak yang bersangkutan masih wajib membuat catatan peredaran bruto atau penerimaan penghasilan. Wajib pajak tersebut, dalam hal sebagai Pengusaha Kena Pajak dalam menghitung Pajak Masukan yang dapat dikreditkan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan.
Baik Petunjuk Norma Penghitungan Penghasilan Neto maupun Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan ditetapkan melalui keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Penggunaan Norma Penghitungan dan Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan, di samping memudahkan wajib pajak, juga menghilangkan kesempatan wajib pajak untuk dapat kompensasi, restitusi dan hak-hak lainnya.
Latar Belakang Diberlakukannya Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Setiap pemungutan pajak termasuk pemungutan Pajak Pertambahan Nilai diharapkan mencerminkan keadilan baik secara horizontal maupun vertikal. Untuk mencapai sasaran agar pemungutan Pajak Pertambahan Nilai mencerminkan keadilan tersebut maka diberlakukan pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), di samping diberlakukan tarif proporsional dan progresif.
Dengan diberikan contoh penghitungannya, ternyata tingkat progresivitas PPnBM bersama-sama dengan PPN, menunjukkan lebih tajam daripada PPnBM yang menggantikan PPn sebagaimana tertuang pada UU PPn 1951.
Inilah yang menjadi latar belakang mengapa Pajak Penjualan atas Barang Mewah diberlakukan bersama-sama dengan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai.
Menghitung Pajak Penjualan atas Barang Mewah Non-Kendaraan Bermotor
Sebagai pelaksanaan pemungutan tambahan pada pemungutan PPN dalam rangka menciptakan pemungutan yang adil di bidang pajak atas penyerahan barang, maka diberlakukan pemungutan PPnBM. Agar supaya lebih memantapkan tingkat keadilan vertikalnya maka diterapkan tarif proporsional yang progresif, dimana tarif pajak PPn BM yang minimal 10% dan maksimal 50% dibagi dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu kelompok dengan tarif 10%, kelompok dengan tarif 20% dan kelompok dengan tarif 35%.
Akhirnya dapat dihitung besarnya PPnBM atas penyerahan barang berupa kendaraan bermotor dan besarnya PPnBM atas impor kendaraan bermotor dengan unsur-unsurnya
Walaupun cara pemungutannya sama sebagaimana PPnBM atas penyerahan BKP, namun pelaksanaan pemungutannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, bersama-sama memungut Bea Masuk.
Sumber Buku Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Barang Mewah Karya Harmanti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar